Sebuah Cerita Guru

Φ DUA Φ

HIMPUNAN KEBIASAAN

“...tidak ada keluhan, tidak ada kemalasan. Karena sekali lagi, memang sebuah tujuan untuk mendapat hal yang lebih baik. Disiplin...”

 

Garis panjang. Ketika kumerangkai garis panjang kehidupan ini, aku sadar bahwa garis tersusun atas banyaknya titik-titik kecil yang saling berhubungan. Titik-titik tersebut selalu bersatu dengan yang lainnya, dan ketika arah titik berbelok, titik lain selalu mengikuti agar jalinan titik tersebut tidak terputus, sehingga tetap menjadi sebuah garis yang panjang yang tidak pernah putus.

Kehidupan kita ini seperti garis panjang. Titik demi titik proses selalu kita lewati hingga akhirnya sampai pada satu titik yang saat ini kita pijak. Begitu pula kehidupanku. Kuawali sebuah titik kehidupan pendidikan dari sebuah Taman Kanak-kanak (TK). Ya, Taman Kanak-kanak  di sebuah desa kecil, Taman Kanak-kanak dengan 2 guru wanita saja di tiap tingkatan yang mengajar hampir 40 siswa umur 5 tahunan. Bangunan TK tidak berdiri semegah bangunan-bangunan sekolah di kota besar. TK ini memiliki mainan-mainan anak yang tradisional, taman yang sederhana dengan beberapa mainan luar ruangan, papan tulis hitam yang harus ditulis menggunakan kapur putih, mungkin sesekali menggunakan kapur warna agar kami para murid sedikit merasa senang melihat goresan-goresan tulisan dan gambar di papan tulis oleh Bu Guru kami.

Namun, siapa sangka, dengan kondisi demikian, TK tersebut mampu membuatku menjadi seorang yang rajin dalam melakukan sesuatu kala itu. Terbukti masih rajin saja mengetik tulisan ini sekarang. Mengapa seperti itu? Guru TK mengajarkanku untuk selalu mandiri dalam segala hal, mulai dari hal tersulit yang saat itu aku rasakan yaitu mewarnai dan menganyam menggunakan daun. Seringkali aku menangis saat jam belajar di TK karena aku gampang menyerah dan selalu minta tolong bagaimana caranya. Masih kuingat sampai sekarang, guru memulangkan aku terakhir dan sangat siang gara-gara aku paling lama dalam mewarnai. Biasanya ada teman-teman yang sesekali membantuku. Aku selalu lama dalam mewarnai karena terlalu halus dan pelan dalam melakukan. Bu Guru membiarkanku dan sama sekali tidak menolongku. Hingga akhirnya aku pulang sampai sangat siang.

Pengalaman tersebut membuatku menjadi sedikit mandiri ketika masuk ke Sekolah Dasar (SD). Guru SD semuanya galak menurutku. Sangat beda dengan di TK yang hanya mewarnai, menyanyi, menjahit, melipat kertas, dan sebagainya. SD menuntutku untuk menulis dan berhitung. Kala itu Kelas 1 SD. Lagi-lagi aku dikenal sebagai anak yang cengeng lantaran selalu menangis ketika tidak selesai dalam menulis karena tulisanku sangat pelan dan berusaha untuk rapi. Guru sering memarahiku karena hal tersebut. Cap anak cengeng masih menempel hingga kelas 4 SD. Saat aku ketinggalan pelajaran di sekolah karena menulisku yang lama, ibuku dan bapakku di rumah selalu memarahiku ketika malam hari karena mendapat laporan dari guru bahwa hari itu aku menangis di sekolah lagi.

Demi mengejar ketertinggalan, ibuku selalu menuntutku untuk langsung belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah (PR) setiap sampai rumah pulang sekolah. Selalu kubuka buku pelajaran, bertanya kepada kakek yang saat itu di rumah (karena bapak dan ibuk bekerja), dan mengerjakan PR. Tidur siang merupakan sebuah kewajiban bagiku, karena malamnya, sehabis Maghrib, ibuku selalu memberiku materi kembali dan memberikanku banyak sekali soal-soal untuk dikerjakan, baik tulisan dan lisan. Ibu juga mewajibkan aku menulis sangat rapi dan indah. Tulisan tegak bersambung dan memperhatikan tanda baca.

Tak jarang pula, lagi-lagi aku menangis ketika belajar gara-gara dimarahi bapak dan ibu kalau aku salah dalam mencari jawaban atas soal yang diberikan. Rutinitas ini selalu dilakukan hingga waktu SD ku berakhir. Kebiasaan ini demi mencapai tujuan baik mereka, demi sebuah peringkat kelas pertama tiap tahun. Berhasil. Oiya, waktu bermainku dengan teman-temanku hanya pukul 16.00 sampai dengan 17.30. Cukup singkat bukan?

Aku tak menyesal. Kebiasaan kecilku itu sangat membekas hingga sekarang. Aku tidak mengeluh. Aku bersyukur atas kebiasaan yang ditanamkan kedua orang tua dan guru SD-ku. Aku menjadi orang yang selalu mengerjakan rentetan tugas, pekerjaan, deadline dengan urut. Meneliti secara detail apa yang aku lakukan. Aku sadar, ketika kita dibentuk oleh kebiasaan baik, hasil yang akan kita dapatkan merupakan kebiasaan yang baik pula. Sebaliknya, ketika seorang anak diberikan kebiasaan yang tidak baik dan benar, proses pendidikannya juga mengalami masalah dari sisi kebiasaan dan tindakannya.

Kebiasaan guru SD-ku juga menjadi panutan yang masih kulakukan sampai saat ini. Duduk di kelas 6 merupakan pengalaman yang tak kulupakan. Peraturan untuk duduk tegap dengan kedua  tangan ‘sedhakep’ di atas meja selalu diterapkan di masa itu. Tujuannya adalah membuat kita selalu fokus dalam mengikuti pembelajaran yang dilakukan oleh guruku. Peraturan disiplin lainnya adalah mengenai baju seragam yang harus dimasukkan ke celana, dasi yang harus simetris kedudukannya, rambut yang disisir rapi, wajib melihat mata dan mulut Bu Guru ketika menjalaskan, wajib selalu datang tepat waktu dan hal-hal disiplin lainnya. Dampak dari pelanggaran kedisiplinan adalah rentetan hukuman yang siap menanti. Tidak ada yang protes dari pihak manapun, mengeluh, dan malas, karena memang satu tujuan bersama untuk menjadikan kami lebih baik.

Disiplin. Satu kebiasaan yang selalu aku ingat sampai sekarang. Kedisiplinan dan kebiasaan yang selalu berelasi. Kedisiplinan masa lalu yang membuat aku menjadi seperti sekarang. Panutan bahwa aku harus selalu tepat waktu dalam segala hal. Kebiasaan untuk selalu mengerjakan setiap pekerjaan berdasarkan urutan. Tidak ada keluhan, tidak ada kemalasan. Karena sekali lagi, memang sebuah tujuan untuk mendapat hal yang lebih baik. Disiplin.

 

 

 

Sebuah Cerita Guru

Φ SATU Φ

AKAR PERJALANAN

“...Guru yang selalu memberi teladan dan perkataannya selalu membekas di benak ini...”

 

Matematika merupakan suatu ilmu yang begitu syarat akan teka-teki. Jawaban dari teka-teki matematika itu sendiri sebenarnya sederhana yaitu hanya ada satu jawaban. Sebenarnya bukan satu jawaban, tapi banyak jawaban yang nilainya sama. Namun terkadang, untuk mencapai satu jawaban tersebut perlu proses panjang dan berliku yang terkadang membuat si pencari jawaban merasa lelah dan tak sedikit yang membenci matematika. Hidup dapat disandingkan dengan matematika tersebut, seberapa kuat kita bertahan dan berjuang, kehidupan indah akan menjadi milik kita.

Kris. Salah satu nama panggilan masa kecilku yang diambil dari barisan nama panjang yang tidak tersusun secara berurutan seperti barisan aritmatika atau geometri;  Faustinus Adven Kristanto. Aku Kris kecil, sosok yang pendiam, pemalu, belum punya rasa percaya diri, cengeng, dan selalu patuh akan perintah siapapun dan sekarang sedang mencoba menikmati proses kehidupan ini.

Aku Kris kecil. Dilahirkan dari perut seorang Ibu Guru Sekolah Dasar (yang belum PNS) dengan pengabdiannya luar biasa ketika menjadi guru. Tinggal di sebuah desa kecil di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah dan mengabdi di Desa Gentinggunung, yang berbeda lereng gunung dengan tempat tinggal kami. Bisa dibilang, ketika pagi hari sebelum sekolah, aku tidak bisa melihat ibuku. Bagaimana tidak? Pukul 04.00 ibu sudah berangkat menuju tempat sekolahnya, dengan diantar oleh Bapakku menuju terminal mengendarai motor, yang kemudian naik bis sebanyak 3 kali. Begitu setiap harinya kecuali hari Minggu. Pulang sampai rumah pukul 17.00 paling awal. Pengabdian luar biasa menjadi guru muda dan sekaligus menjadi kerinduan selama delapan tahun ditemani ibu pikirku.

Menjadi guru merupakan prestasi luar biasa bagi masyarakat kami kala itu. Semua guru hampir sama, baik Ibuku atau Guru-guru di sekolahku. Digugu lan ditiru. Dihormati dan diajeni. Disiplin dan dikenal. Aku sekolah di sekolah negeri di desa dengan guru-guru seumuran guru dari ibuku mungkin. Enam dari delapan guruku adalah wanita.  Ada sosok kerinduan ibu yang selalu kulihat di mata guruku setiap mereka mengajar. Aku selalu menghormati mereka, menyayangi mereka, dan selalu menjadi anak yang manis dan patuh di mata mereka. Mereka mengajarkanku norma, tingkah laku, aturan kaku, kebiasaan belajar, dan runtutan pikiran. Guru begitu menjadi akar dalam proses hidupku sejak kecil. Guru yang selalu memberi teladan dan perkataannya selalu membekas di benak ini. Ketika di  sekolah atau di rumah aku selalu bertemu dengan guru yang hebat. Ya, guru yang hebat. 

 

Any question?

Pls Please contact Mr. Faus below: